Rabu, 19 Mei 2010

Belajar dari Tukang Parkir

Dulu, semasa belajar di Bandung, Kamis malam selepas sholat Isya seperti biasanya saya mendengar ceramah lewat radio. Kebetulan ceramah yang saya dengar itu disampaikan oleh Aa Gym. Ya, Aa Gym sang da’i kondang dari kota kembang yang terkenal itu. Beliau terkenal akan kepiawaiannya dalam menyampaikan ceramah. Ceramah dengan menggunakan bahasa yang santun tertata apik menjadikan ceramahnya enak dicerna dan mudah dipahami maksudnya. Karenanya, saya pun termasuk orang yang tertarik dengan cara penyampaiannya.
Di negeri ini, di kala jarang mendengar ceramah agama yang saya mengerti bahasa-nya, tiba-tiba dalam pikiran ini terbersit ingatan salah satu isi cermah agama yang disampaikan Aa Gym itu. Tapi anehnya isi ceramah yang saya ingat itu tentang cerita nyata yang beliau alami dan pernah ia sampaikan.
Seingat saya cerita yang disampaikan Aa Gym itu kira-kira begini.
Sebagai tokoh masyarakat, Aa Gym pernah diundang oleh wali kota Bandung untuk menghadiri pertemuan. Pertemuan tersebut katanya akan membahas kebijakan menyangkut tentang masalah “kemasyarakatan” di kota tersebut.
Atas undangan tersebut, Aa Gym pun tentunya berencana datang hadir dengan mengendarai motor kesayangannya. Tapi sayang, saat waktu pertemuan, Aa Gym banyak acara sehingga ia datang mepet dan terlambat. Sehingga ia terburu-buru ke tempat acara.
Setibanya di kantor walikota Bandung, karena terburu-buru, Aa Gym memarkir motornya bukan di tempat parkir. Ia ingin cepat-cepat masuk ke ruang pertemuan.
Sayang, sebelum niatnya terlaksana, tukang parkir yang bertugas di kantor tersebut segera menghampiri.
“Hai kang…, kalau parkir jangan di situ! Ini kantor walikota. Tuh, di sana tempat parkirnya!” begitu kata tukang Parkir sambil menunjuk ke tempat parkir yang benar.
Kemudian dengan percaya diri Aa Gym membuka helm-nya.
“Maaf, Pak. Saya ini Abdullah Gymnastiar. Saya lagi terburu-buru mau menghadiri acara,” kata Aa Gym.
“Mau Abdullah kek, mau Abdul kek, mau Mahmud kek, di sini itu bukan tempat parkir! Tuh di sana tempatnya!” ulang sekali lagi tukang parkir itu dengan tegas.
Akhirnya Aa Gym pun ngeloyor ke tempat yang ditunjukkan oleh tukang parkir tersebut.
“Wah tukang parkir ini sepertinya tidak pernah nonton TV,” begitu perkataan Aa Gym dalam pikirannya, sambil membawa sepeda motor ke tempat parkir yang benar.
Nah, dari cerita tersebut, pelajaran apa yang bisa kita ambil?
Yang pertama, disiplin terhadap waktu. Saya pikir (hampir) setiap orang mengerti akan hal ini. Karenanya saya tak akan membahasnya.
Yang Kedua yaitu disiplin aturan. Saya pikir untuk hal ini pun (hampir) setiap orang akan mengerti maksudnya. Jadi saya lagi-lagi tak mau membahasnya.
Kalau tidak mau membahasnya, buat apa menuliskan hal ini? Ya saya memberi kesempatan pada pembaca untuk memikirkannya.
Dan yang ketiga, kita bisa belajar dari tukang parkir bagaimana memperlakukan harta titipan. Ya, para tukang parkir itu sekuat kemampuan menjaga barang titipan yang mereka terima dengan baik. Namun tidak merasa bahwa barang itu adalah miliknya. Dan ketika yang mempunyai barang titipan itu mengambilnya, maka dengan ikhlas sang tukang parkir merelakannya.
Nah, sebandiing dengan apa yang dialami para tukang parkir, pada hakikatnya harta yang kita miliki hanyalah titipan dari sang pencipta, Allah SWT. Tapi seringkali kenapa kita begitu tergila-gila padanya? Seolah harta yang kita pegang saat ini adalah mutlak milik kita. Kenapa ya? Kenapa kita tak rela bila Sang Pemilik, Allah SWT, mengambilnya?
Contoh harta titipan itu apa? Ya semua harta yang kita punyai di dunia ini. Harta berupa benda mati atau benda hidup. Yang berupa benda mati contohnya: uang, perhiasan, rumah, kendaraan, dsb. Sedangkan yang berupa benda hidup bisa berupa anak-anak kita (bagi yang sudah berkeluarga dan punya anak). Relakah bila anak-anak kita diambil-Nya?
=====Sampai di sini tentang tukang parkir=====
Duh, bagi saya yang belum berkeluarga ini, sebetulnya tidak punya kompetensi dan pengalaman untuk membicarakan tentang masalah keluarga. Tetapi, saya bisa merasakan betapa bahagianya hidup berkeluarga itu. Saya turut berbahagia bila menyaksikan sebuah keluarga bahagia (aneh ya…?).



Gambar 1. Sebuah keluarga yang sedang bercengkrama dengan bahagia (wah indahnya… )
Lalu, pelajaran matematikanya apa? Duh saya lagi pusing nih sebetulnya. Banyak tugas yang belum saya selesaikan. Ya, sudah sambil melihat gambar sebuah keluarga bahagia di atas, saya teringat pola-pola bilangan yang dikenal sebagai segitiga Pascal, seperti tampak berikut ini.



Gambar 2. Segitiga Pascal
Bilangan , bilangan , dan seterusnya. Unik ya? Bilangan yang ada di bawah merupakan penjumlahan dari dua bilangan terdekat di atasnya. Makin ke bawah bilangan makin besar (kecuali di pinggir-pinggirnya). Kalau dipikir-pikir, mirip keluarga yang ada pada gambar di atas. Bilangan besar menggambarkan orang yang lebih tua (orang tua), dan bilangan yang lebih kecil menggambarkan orang yang lebih muda (anak-anak). Ah ini sepertinya kebetulan saja… .
Secara matematis, apa manfaat dari segitiga pascal itu? Silakan baca di Wikipedia!
Ya sudah, mudah-mudahan tulisan ini, walaupun agak ngaco, ada manfaatnya. Amin. Sampai jumpa di tulisan mendatang. Dan semoga antara judul dan masalah matematika yang ditampilkan ada kaitannya alias nyambung gitu lho….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar